Kurikulum Berbasis Cinta: Harapan dan Kenyataan di Madrasah Sebagai siswa madrasah, saya sering merenung: apakah belajar itu harus selalu tentang nilai, ujian, dan hafalan? Di tengah rutinitas yang kadang terasa menekan, saya membayangkan sebuah kurikulum yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyentuh hati. Kurikulum berbasis cinta—bukan sekadar slogan, tetapi sebuah harapan akan pendidikan yang memanusiakan.
Apa Itu Kurikulum Berbasis Cinta?
Kurikulum berbasis cinta bukan berarti semua pelajaran harus romantis atau penuh puisi. Bagi saya, cinta dalam pendidikan berarti guru yang memahami muridnya, pembelajaran yang relevan dengan kehidupan, dan suasana kelas yang membuat kami merasa aman untuk bertanya, salah, dan tumbuh. Cinta adalah ketika guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendengarkan. Ketika madrasah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat kami merasa dihargai sebagai manusia.
Pengalaman di Madrasah: Antara Ideal dan Realita
Di madrasah saya, ada guru-guru yang benar-benar menginspirasi. Mereka tidak hanya menyampaikan materi akidah-akhlak atau fiqih, tetapi juga mengajak kami berdialog tentang makna hidup, tentang bagaimana menjadi manusia yang berakhlak di dunia yang kompleks. Saya ingat satu guru Bahasa Arab yang selalu membuka pelajaran dengan cerita kehidupan Nabi, lalu mengaitkannya dengan tantangan kami sebagai remaja. Rasanya seperti belajar sambil disapa hati.
Namun, tidak semua pengalaman seindah itu. Ada kalanya kurikulum terasa kaku, penuh target hafalan dan tugas yang menumpuk. Kami dituntut untuk menguasai banyak hal, tetapi jarang ditanya: “Apa yang kamu rasakan?” atau “Apa yang kamu pikirkan tentang ini?” Dalam kurikulum yang terlalu berorientasi pada hasil, cinta sering kali tenggelam dalam angka dan rapor.
Mengapa Cinta Penting dalam Kurikulum?
Sebagai siswa, saya percaya bahwa cinta adalah fondasi belajar yang sejati. Ketika kami merasa dicintai dan dihargai, kami lebih bersemangat untuk belajar. Kami tidak takut gagal, karena tahu bahwa guru dan madrasah akan mendampingi, bukan menghakimi. Cinta membuat kami berani bermimpi, berani berbeda, dan berani menjadi diri sendiri.
Cinta juga membuat pelajaran menjadi lebih bermakna. Ketika belajar SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), misalnya, kami tidak hanya menghafal nama-nama tokoh, tetapi juga diajak memahami perjuangan mereka dengan empati. Kami belajar bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi tentang nilai-nilai yang bisa kami bawa ke masa depan.
Harapan Kami sebagai Siswa
Kami tidak menuntut kurikulum yang sempurna. Kami tahu bahwa madrasah punya banyak keterbatasan. Tapi kami berharap ada ruang untuk cinta dalam setiap aspek pembelajaran. Kami ingin:
- Guru yang sabar dan mau mendengarkan, bukan hanya menilai.
- Pembelajaran yang relevan dengan kehidupan kami sebagai remaja muslim.
- Kegiatan yang mendorong kolaborasi, bukan kompetisi semata.
- Penilaian yang adil dan manusiawi, bukan sekadar angka.
Kami juga ingin dilibatkan dalam proses belajar. Bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang punya suara. Ketika kami diajak berdiskusi, membuat proyek, atau menulis refleksi, kami merasa dihargai. Kami merasa bahwa madrasah bukan hanya tempat kami belajar, tetapi juga tempat kami tumbuh.
Penutup: Cinta sebagai Jalan Pendidikan
Kurikulum berbasis cinta bukan utopia. Ia bisa dimulai dari hal-hal kecil: sapaan hangat guru di pagi hari, ruang diskusi yang terbuka, atau pelajaran yang mengaitkan ilmu dengan kehidupan. Sebagai siswa madrasah, saya percaya bahwa cinta adalah jalan menuju pendidikan yang bermakna. Bukan hanya untuk kami, tetapi juga untuk guru, madrasah, dan masa depan bangsa.
Jika madrasah berani merancang kurikulum yang berakar pada cinta, maka kami, para siswa, akan tumbuh bukan hanya sebagai manusia yang cerdas, tetapi juga sebagai manusia yang berakhlak, peduli, dan siap menghadapi dunia dengan hati yang utuh.
Lihat juga :
