Saluran Update Edaran -GABUNG SEKARANG !

SE Penyampaian KMA tentang Kurikulum Madrasah 2025

Menyoal Evolusi Kurikulum: Antara Perubahan dan Ketidakpastian. Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia sering dipandang sebagai bentuk adaptasi terhadap perkembangan zaman. Namun, di balik narasi progresif tersebut, terdapat pandangan kritis yang mempertanyakan efektivitas dan konsistensi arah perubahan kurikulum dari masa ke masa. Alih-alih menjadi solusi atas tantangan pendidikan, pergantian kurikulum yang terlalu sering justru menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, dan beban baru bagi para pelaku pendidikan.

Penyampaian KMA tentang Kurikulum Madrasah 2025

Kurikulum: Cermin Politik dan Birokrasi

Salah satu kritik utama terhadap evolusi kurikulum di Indonesia adalah bahwa perubahan kurikulum kerap kali lebih dipengaruhi oleh dinamika politik dan pergantian rezim daripada kebutuhan riil peserta didik. Setiap pergantian menteri atau pemerintahan sering diikuti oleh perubahan kurikulum, seolah-olah pendidikan adalah arena eksperimen kebijakan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kurikulum bukanlah produk kajian ilmiah yang matang, melainkan instrumen birokrasi yang mudah diganti sesuai selera penguasa.

Sebagai contoh, transisi dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 dilakukan dengan alasan peningkatan kualitas pendidikan dan penguatan karakter. Namun, implementasinya terburu-buru dan tidak diikuti dengan pelatihan guru yang memadai. Banyak sekolah yang belum siap, baik dari segi sumber daya manusia maupun fasilitas. Akibatnya, guru dan siswa menjadi korban dari kebijakan yang belum matang.

Beban Guru dan Siswa yang Semakin Berat

Perubahan kurikulum juga berdampak langsung pada beban kerja guru. Setiap kali kurikulum berganti, guru harus mengikuti pelatihan, menyesuaikan perangkat pembelajaran, dan mengubah metode pengajaran. Dalam praktiknya, tidak semua guru memiliki akses atau kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat. Hal ini menciptakan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah, terutama antara kota dan desa.

Siswa pun tidak luput dari dampaknya. Kurikulum yang terlalu padat dan berorientasi pada capaian kompetensi sering kali mengabaikan aspek psikologis dan sosial anak. Alih-alih menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, kurikulum justru menuntut siswa untuk memenuhi standar yang seragam, tanpa mempertimbangkan latar belakang dan potensi individu. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan motivasi belajar dan menciptakan tekanan mental.

Kurikulum Merdeka: Solusi atau Ilusi?

Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan dalam era “Merdeka Belajar” digadang-gadang sebagai jawaban atas berbagai persoalan pendidikan. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan berpusat pada siswa, kurikulum ini menjanjikan pembelajaran yang lebih kontekstual dan relevan. Namun, pertanyaannya adalah: apakah semua sekolah memiliki kapasitas untuk menerapkan kebebasan tersebut?

Fleksibilitas tanpa panduan yang jelas justru bisa menimbulkan interpretasi yang beragam dan tidak konsisten. Sekolah dengan sumber daya yang baik mungkin mampu mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan, tetapi sekolah yang kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik akan kesulitan. Akibatnya, kesenjangan pendidikan semakin melebar.

Selain itu, kebebasan dalam memilih materi dan metode pembelajaran juga berisiko mengaburkan standar nasional pendidikan. Tanpa kontrol yang ketat, kualitas pendidikan bisa menjadi sangat variatif dan sulit diukur secara objektif.

Perlu Paradigma Baru

Daripada terus-menerus mengganti kurikulum, Indonesia seharusnya fokus pada penguatan sistem pendidikan secara menyeluruh. Kurikulum bukanlah satu-satunya faktor penentu kualitas pendidikan. Pelatihan guru, pemerataan fasilitas, dan penguatan budaya belajar jauh lebih penting untuk diperhatikan.

Paradigma pendidikan harus bergeser dari sekadar mengejar capaian akademik menuju pembentukan manusia yang utuh: kritis, kreatif, dan berintegritas. Kurikulum seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut, bukan menjadi tujuan itu sendiri.

Penutup

Evolusi kurikulum di Indonesia memang menunjukkan semangat untuk terus memperbaiki sistem pendidikan. Namun, perubahan yang terlalu sering dan tidak terencana justru menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Sudah saatnya pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan berhenti menjadikan kurikulum sebagai proyek politik, dan mulai membangun sistem pendidikan yang berkelanjutan, inklusif, dan berorientasi pada masa depan.


Lihat juga :

Posting Komentar

© Insert. All rights reserved. Developed by Jago Desain